Jumat, 28 Juni 2013

KETERKAITAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL DALAM PENGEMBANGAN PRIBADI SOSIAL



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

            Emosi adalah akar kata dari emotion adalah movere, kata Latin yang berarti “bergerak”,
ditambah awalan “e” memberi arti “bergerak menjauh”. Kata Emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang menyertainya, keadaan psikologis dan
biologis, dan sederet impuls (dorongan) untuk beraksi. The Oxford English
Dictionary mendefinisikan emosi sebagai : “setiap agitasi atau gangguan dari jiwa,
perasaan, kemarahan, nafsu (keinginan besar), setiap keadaan jiwa yang penuh
semangat atau gairah (excited)”.
            Padanan istilah Emosi yang mendekati kesesuaian dalam Al Qur’an mungkin
adalah Nafs (dalam bahasa Indonesia disebut Nafsu atau Hawa Nafsu). Namun kata
Nafs sendiri dalam Al Qur’an juga ada yang bermakna Nyawa atau Diri/ Pribadi.
spiritual. Michal Levin (Th.2000) dalam bukunya berjudul “Spiritual
Intelligence” Membangkitkan Kekuatan Spiritualitas dan Intuisi Anda (terjemahan
terbitan Gramedia 2005), menyatakan bahwa spiritual bukan agama, bukan syahadat,
tetapi adalah perspektif  hati dan visi, yang diperoleh lewat meditasi. Dalam
bukunya itu Levin mengatakan hasil yang diperoleh melalui meditasi tersebut adalah
menemukan kembali potensi diri. Sebagai ilustrasi, dia memberikan contoh cerita
anak-anak Harry Potter , yang belajar di sekolah sihir harus mengucapkan mantra
“expecto Patronum” untuk membangkitkan citra sifat positif nya sendiri yang akan
melindunginya. Menurut Levin, bila meditasi seseorang telah berhasil, maka orang
tersebut akan menyerupai phoenix - mahluk mistis yang disembah di Mesir kuno,
yang membakar diri setiap akhir siklus, naik dan diremajakan kembali, lahir kembali
dari abunya sendiri.
            Dalam Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) pengalaman spiritual merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang menyertainya, keadaan psikologis dan
biologis, dan sederet impuls (dorongan) untuk beraksi. The Oxford English
Dictionary mendefinisikan emosi sebagai : “setiap agitasi atau gangguan dari jiwa,
perasaan, kemarahan, nafsu (keinginan besar), setiap keadaan jiwa yang penuh
semangat atau gairah (excited)”.
Istilah yang maknanya dekat sekali dengan “spiritual” adalah “religious”. Kata
spiritual masih bisa dikaitkan dengan selain agama tetapi kata religious, apalagi di
Indonesia khususnya, sudah dipastikan hanya berkaitan dengan Agama.
Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya, menjelaskan bahwa spiritual artinya spiritatau murni. Untuk memahami bagaimana menyaring  jiwa kita agar jernih seperti “spirit” atau ruh yang suci, adalah menjadikan jiwa seseorang agar selalu terbuka, pengertian, tanggung jawab, kepercayaan, keadilan dan kepedulian sosial.
            Dalam kaitannya perkembangan pribadi sosial usia remaja, kecerdasan emosi dan spiritual sangat berperan aktif dalam proses perkembangan pribadi dan sosial anak. Hal ini ditandai oleh pada masa ini anak akan semakin mandiri dan mulai menjauh dari orang tua dan keluarga, mereka lebih menekankan untuk berteman dan membentuk kelompok dengan sebaya, memiliki kebutuhan yang besar untuk disukai dan diterima oleh teman sebaya. Berangkat dari hal tersebut, sehingga sangat penting apabila kecerdasan emosi dan spiritual pada pola kepribadian dan sosial anak lebih ditekankan. Selain itu peran orang tua, sekolah (bimbingan konseling) dan lingkungan masyarakat menjadi pilar utama dalam keberhasilan perkembangan pribadi dan sosial anak.

B.    Rumusan Masalah

a.      Apa yang dimaksud dengan perkembangan pribadi sosial pada anak?
b.     Bagaimana pengaruh kecerdasan emosi dan spiritual dalam perkembangan pribadi sosial pada anak?
c.      Apa saja faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi dan spiritual dalam perkembangan pribadi sosial pada anak?

C.    Tujuan

a.      Untuk mengetahui dan memahami perkembangan pribadi sosial pada anak
b.     Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosi dan spiritual dalam perkembangan pribadi sosial pada anak
c.      Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi dan spiritual dalam perkembangan pribadi sosial pada anak

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Pribadi Sosial pada Anak

            Menurut Syamsu Yusuf (2007), menyatakan bahwa Perkembangan Sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama.
            Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kamampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
            Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirasakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang. Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa :
Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hunungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks.
            Dari kutipan di atas dapatlah dimengerti bahwa semakin bertambah usia anak maka semakin kompleks perkembangan sosialnya, dalam arti mereka semakin membutuhkan orang lain. Tidak dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendiri, mereka butuh interaksi dengan manusia lainnya, interaksi sosial merupakan kebutuhan kodrati yang dimiliki oleh manusia.
            Kehidupan anak dalam menelusuri perkembangnya itu pada dasarnya merupakan kemampuan mereka berinteraksi dengan lingkungan. Pada proses interaksi ini faktor intelektual dan emosional mengambil peranan penting. Proses tersebut merupakan proses sosialisasi yang mendudukkan anak-anak sebagai insan yang secara aktif untuk melakukan proses sosialisasi. Anak yang selalu menyukai berinteraksi dengan manusia disekitarnya akan mengembangkan kecakapan sosial sehingga mereka lebih popular daripada anak yang interaksi sosialnya terbatas (Siti Aisyah, Dkk : 2007 : 9.37)
      Tetapi kesemua tentang bagaimana seorang anak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, bagaimana ia beradaptasi, bersosialisasi harus kita pahami anak mempunyai perbedaan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan masing-masing. Selain itu ada juga yang bermasalah dalam proses sosialisasinya karena anak mempunyai kecenderungan anak yang hiperaktif.

Bentuk-bentuk tingkah laku sosial pada anak :
Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk interaksi sosial diantaranya :

1. Pembangkangan (Negativisme)
Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga  tahun dan mulai menurun pada usia empat hingga enam tahun.
Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent menuju ke arah independent.

2. Agresi (Agression)
Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubit, menggigt, menendang dan lain sebagainya.
Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin meningkat.

3. Berselisih (Bertengkar)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain.



4. Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.

5. Persaingan (Rivaly)
Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan prestice dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semain baik.

6. Kerjasama (Cooperation)
Yaitu sikap mau bekerja sama dengan orang lain. Sikap ini mulai nampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun, pada usia 6 hingga 7 tahun sikap ini semakin berkembang dengan baik.

7. Tingkah Laku Berkuasa (Ascendant Behavior)
Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap bossines. Wujud dari sikap ini adalah memaksa, mengancam dsb.

8. Mementingkan Diri Sendiri (Selffishness)
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginan.

9. Simpati (Sympaty)
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain maupun mendekati/bekerjasama dengan dirinya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak :

1. Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak termasuk perkembangan sosialnya.


2. Kematangan

Untuk dapat bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.

3. Status Sosial Ekonomi

Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.

4. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang.

5. Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi

Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah dan berbahasa. Perkembangan emosi berpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.
2.2 Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Spiritual Dalam Perkembangan Pribadi Sosial Pada Anak
Daniel Goleman (1999) adalah salah seorag yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yaki kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebulan emosional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dnegan orang lain.
Dalam bukunya, Ary Ginanjar Agustian menyebutkan dimensi spiritual (SQ) dibentuk oleh ihsan (perilaku baik), dimensi mental (EQ) dibangun oleh 6 prinsip rukun iman (the principle of faith). Sedangkan aktifitas fisik dibimbing, diarahkan dan dikendalikan oleh 5 langkah rukun Islam (the principle of Islam). Ketika formula yang disampaikan oleh Ary Ginanjar diaplikasikan dalam perkembangan pribadi sosial pada anak, tentunya sangat berpengaruh positif. Konsep 6 rukun iman dan 5 rukun Islam adalah sebuah metode yang mengajarkan sebuah tanggung jawab moral dan sosial pada kehidupan pribadi dan sosial anak dimana awal perkembangan pribadi sosial anak bergantung pada sistematika kepribadian secara terstruktur dengan pola-pola yang sekiranya memberikan dampak positif pada perkembangannya.
Emosional lebih dominan dalam mengatur dan menangani perasaan yang bermuatan emosi. Antara EQ dan SQ sangat menpunyai peranan penting dalam pengembangan maupun perkembangan pribadi dan sosial pada anak, karena hal itu merupakan satu kesatuan yang mengatur pola sikap “bagaimana” anak seharusnya menghadapi dirinya sendiri (aspek pribadi) dan juga menghadapi orang lain (aspek sosial).
Keterkaitan antara kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ) tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan pribadi dan sosial anak, Muhibbin Syah (2010; 75) memberikan pandangannya tentang keterkaitan tersebut bahwa perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2005:14) merumuskan beberapa tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial salah satunya adalah memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam  kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya. Maka dalam hal ini tentulah kcerdasan emosional dan spiritual (ESQ) mempunyai sumbangsih kepada perkembangan pribadi sosial pada anak antara lain:
  1. Memberi kesadaran agar bersikap rendah hati.
  2. Memberi keyakinan terhadap sosok yang diagungkan sehingga bisa mengilhami untuk menjadi pribadi yang baik dalam kehidupan pribadi sosial.
  3. Memberi motivasi untuk selalu mengatur, mengendalikan serta mengontrol emosi negatif agar perkembangan tetap seimbang.
  4. Memberi langkah-langkah sikap yang patut untuk mengembangkan pribadi dan sosial yang sesuai dengan yang dikehendaki.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi dan Spiritual dalam Perkembangan Pribadi Sosial Pada Anak
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan sebuah domain dari trait. Kecerdasan emosional di pengaruhi beberapa faktor, baik faktor yang bersifat pribadi, sosial ataupun gabungan beberapa faktor. Terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosioal.
Dibawah ini diberikan dua teori penyebab/faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional berdasarkan teori Goleman dan Agustin.
Menurut Goleman (dalam Ifham, 2002) terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prrefrontal dan hal-hal yang berada pada otak emosional.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.
Sedangkan menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional.
Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi.

2. Kecerdasan Spiritual
Menurut Syamsu Yusuf (2002: h.136) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan keadaan spiritual anak, yaitu faktor pembawaan (internal) dan lingkungan (ekstrnal) adapaun penjelasannya yaitu:
Faktor Pembawaan (internal)
Secara hakiki perbedaan manusia dengan binatang adalah manusia mempunyai fitrah beragama. Oleh sebab itu manusia disebut juga dengan homo religius. Fitrah beragama ni tidak memilih kapan manusia tersebut itu berada dan dilahirkan. Dari zaman yang masih primitif sampai modern, setiap anak yang lahir dari rahim orangtua yang baik ataupun jahat, bahwasanya secara kodrati setiap manusia memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang berada di luar kekuasaannya yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan alam semesta.
Dalam masyarakat primitif sering kita jumpai melalui bukti-bukti peninggalan prasejarah. Adanya kepercayaan terhadap roh-roh gaibyang dapat memberikan kebaikan atau kejahatan. Semua hal tersebut diperlihatkan melalui pemberian saji-sajian (bahasa sunda sesajen) yang dibuat untuk mengusir ataupun meminta tolong kepada roh-roh yang mereka percayai. Selain itu benda-benda yang dianggap keramat, seperti keris, atau batu juga seringkali mereka percayai sebagai benda yang memiliki kekuatan-kekuatan yang dapt mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Tidak heran jika mereka mengeramatkannya. Bahkan, dikalangan mesyarakat modern pun masih ada yang percaya terhadp hal-hal yang bersifat takhayul tersebut. Melihat kenyataan di atas maka tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia yang lahir telah memiliki kepercayaan terhadap suatu zat yang mempunyai kekuatan untuk mendatangkan kebaikan ataupun kemudhoratan (mencelakakan).
Faktor Lingkungan (eksternal)
Fitrah beragam merupakan salah satu potensi yang memiliki kecenderungan untuk berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Namun potensi tersebut tidak akan berkembang manakala tidak ada faktor luar (eksternal) yang turut serta mewarnai pertumbuhan dan perkembangan setiap individu. Jika kita menginginkan potensi beragama setiap anak berkembang ke arah yang lebih baik, tentu kita harus dapat menkondisikan situasi dan lingkungan yang ada disekitar mengarah kepada hal tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disini lingkungan yang dimaksud menurut Syamsu Yusuf (2002: h.139) yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Adanya keserasian antara keluarga, sekolah, dan masyarakat akan dapat memberikan dampak positif bagi anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan dalam diri anak. Adapun penjelasana dari masing-masing lingkungan adalah sebagai berikut :
1. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi setiap anak. Tentunya dalam hal ini orangtua menjadi orang yang paling bertanggungjawabdalam menumbuhkembangkan kecerdasan beragam pada anak. Para orangtua dibebankan tanggungjawab untuk membimbing potensi keagamaan anak sehingga diharapkan akan terbentuk kesadaran beragama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience) dalam diri anak-anak secara nyata dan benar. Anak-anak diberi bimbingan sehingga mereka tahu kepada siapa mereka harus tunduk dan bagaimana tatacara sebagai bentuk pernyataan dan sikap tunduk tersebut. Tentunya pembentukan jiwa keagamaan ini haruslah dimulai sejak anak dalam kandungan sampai ia lahir.
2. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak setelah keluarga. Karena hampir setengah hari anak menghabiskan waktunya bersama teman dan gurunya di sekolah. Tentunya segala sesuatu yang ada di sekolah akan menjadi model bagi anak untuk ditiru. Seperti yang diungkapkan Hurlock(1959: h.561) bahwa pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi dari orangtua.
Hal ini menggambarkan bahwa guru merupakan orangtua kedua bagi anak-anak. Peran guru di sekolah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi seluruh perkembangan anak, baik kognitif, sosial, emosi maupun afektif. Sayangnya masih banyak sekolah yang lebih menitikberatkan perkembangan anak secara akademik dengan mengukur kecerdasan setiap anak melalui deretan angka sebagai salah satu ukuran perbandingan antara anak yang satu dengan yang lainnya.
Tentunya hal tersebut harus dijadikan bahan pemikiran bagi seluruh guru sebagai penanggungjawab pendidikan bagi anak untuk tetap menggali seluruh potensi dan kecerdasan anak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Karena sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang mempunyai program sistemik dalam melaksanakan pengajaran, bimbingan dan latihan kepada anak agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya.
Dalam kaitan mengembangkan fitrah keagamaan dalam diri anak, maka gur waji memberikan keteladanan dan perkataan, sikap maupun perbuatan yang baik serta cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu akan lebih efektif jika semua guru dan staf di sekolah dapat merefleksikanya melaui pembiasaan yang dimulai dari diri sendiri. Selain itu diperlukan juga guru agama yang memiliki kepribadian yang mantap (akhlak mulia), menguasai disiplin ilmu agama islam, dan memahami ilmu-ilmu yang lain yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar. Namun bukan berarti pengembangan kecerdasan beragama hanyalah menjadi tanggungjawab guru agama saja. Melainkan juga menjadi tanggungjawab guru bidang studi laing dengan cara tetap menyisipkan nilai-nilai agama dalam seluruh proses belajar mengajar setiap hari.
3. Lingkungan Masyarakat.
Selain faktor keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat jua turut mempengaruhi perkembangan kecerdasan beragama pada anak. Lingkunan masyarakat yang dimaksud meliputi lingkungan rumah sekitar anak sebagai tempat bermain, televisi, serta mediacetak seperti buku cerita maupun komik yang paling banyak digemari oleh anak-anakusia dini. Menurut syamsu Yusuf (2002: h. 141) lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dn sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu. Dalam msayarakt akan terbentuk suatu perilaku yang dominan pada setiap individu karena adanya interaksi sosialyang terjadi antara teman sebaya maupun dengan anggota masyarakat lainnya. Pada diri anak akan muncul perilaku baik ataupun tidak baik tergantung seberapa besar lingkungan sekitarna mempengaruhi dalam pergaulan sehari-hari. Karena pada dasarnya anak cepat sekaliterpengaruh oleh hal-hal yang ia lihat, dengar dan rasakan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hurlock (dalam Syamsu Yusuf, 2006) yang mengemukakan bahwa standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”. Disini dapat dikemukankan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat. Jika anak sering bergaul dengan lingkungan yang kurang baik, maka bukan tidak mungkin anak akan berperilaku sama dengan apa yang ia lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-harinya.
Selain manusia sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan beragama anak, media cetak dan televisi juga turut serta memberikan andil besar dalam mewarnai pertumbuhan anak dalam lingkungannya.

 

BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
            Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
            Emosional lebih dominan dalam mengatur dan menangani perasaan yang bermuatan emosi. Antara EQ dan SQ sangat menpunyai peranan penting dalam pengembangan maupun perkembangan pribadi dan sosial pada anak, karena hal itu merupakan satu kesatuan yang mengatur pola sikap “bagaimana” anak seharusnya menghadapi dirinya sendiri (aspek pribadi) dan juga menghadapi orang lain (aspek sosial).
Kecerdasan emosional merupakan sebuah domain dari trait. Kecerdasan emosional di pengaruhi beberapa faktor, baik faktor yang bersifat pribadi, sosial ataupun gabungan beberapa faktor. Terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, faktor lingkunganpun juga dapat mempengaruhi kecerdasan emosional seorang anak.
B.     SARAN
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini belum mencapai kesempurnaan, oleh karenanya kami mohon bimbingan, kritik dan saran dari pembaca sekalian untuk membangun kualitas keilmuan kami.