BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Emosi
adalah akar kata dari emotion adalah movere, kata Latin yang berarti
“bergerak”,
ditambah
awalan “e” memberi arti “bergerak menjauh”. Kata Emosi merujuk kepada suatu
perasaan dan pikiran-pikiran yang menyertainya, keadaan psikologis dan
biologis,
dan sederet impuls (dorongan) untuk beraksi. The Oxford English
Dictionary
mendefinisikan emosi sebagai : “setiap agitasi atau gangguan dari jiwa,
perasaan,
kemarahan, nafsu (keinginan besar), setiap keadaan jiwa yang penuh
semangat
atau gairah (excited)”.
Padanan
istilah Emosi yang mendekati kesesuaian dalam Al Qur’an mungkin
adalah
Nafs (dalam bahasa Indonesia disebut Nafsu atau Hawa Nafsu). Namun kata
Nafs
sendiri dalam Al Qur’an juga ada yang bermakna Nyawa atau Diri/ Pribadi.
spiritual.
Michal Levin (Th.2000) dalam bukunya berjudul “Spiritual
Intelligence”
Membangkitkan Kekuatan Spiritualitas dan Intuisi Anda (terjemahan
terbitan
Gramedia 2005), menyatakan bahwa spiritual bukan agama, bukan syahadat,
tetapi
adalah perspektif hati dan visi, yang
diperoleh lewat meditasi. Dalam
bukunya
itu Levin mengatakan hasil yang diperoleh melalui meditasi tersebut adalah
menemukan
kembali potensi diri. Sebagai ilustrasi, dia memberikan contoh cerita
anak-anak
Harry Potter , yang belajar di sekolah sihir harus mengucapkan mantra
“expecto
Patronum” untuk membangkitkan citra sifat positif nya sendiri yang akan
melindunginya.
Menurut Levin, bila meditasi seseorang telah berhasil, maka orang
tersebut
akan menyerupai phoenix - mahluk mistis yang disembah di Mesir kuno,
yang
membakar diri setiap akhir siklus, naik dan diremajakan kembali, lahir kembali
dari
abunya sendiri.
Dalam
Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) pengalaman spiritual merupakan suatu perasaan
dan pikiran-pikiran yang menyertainya, keadaan psikologis dan
biologis,
dan sederet impuls (dorongan) untuk beraksi. The Oxford English
Dictionary
mendefinisikan emosi sebagai : “setiap agitasi atau gangguan dari jiwa,
perasaan,
kemarahan, nafsu (keinginan besar), setiap keadaan jiwa yang penuh
semangat
atau gairah (excited)”.
Istilah
yang maknanya dekat sekali dengan “spiritual” adalah “religious”. Kata
spiritual
masih bisa dikaitkan dengan selain agama tetapi kata religious, apalagi di
Indonesia
khususnya, sudah dipastikan hanya berkaitan dengan Agama.
Ary
Ginanjar Agustian dalam bukunya, menjelaskan bahwa spiritual artinya spiritatau
murni. Untuk memahami bagaimana menyaring
jiwa kita agar jernih seperti “spirit” atau ruh yang suci, adalah
menjadikan jiwa seseorang agar selalu terbuka, pengertian, tanggung jawab,
kepercayaan, keadilan dan kepedulian sosial.
Dalam
kaitannya perkembangan pribadi sosial usia remaja, kecerdasan emosi dan
spiritual sangat berperan aktif dalam proses perkembangan pribadi dan sosial
anak. Hal ini ditandai oleh pada masa ini anak akan semakin mandiri dan mulai
menjauh dari orang tua dan keluarga, mereka lebih menekankan untuk berteman dan
membentuk kelompok dengan sebaya, memiliki kebutuhan yang besar untuk disukai
dan diterima oleh teman sebaya. Berangkat dari hal tersebut, sehingga sangat penting
apabila kecerdasan emosi dan spiritual pada pola kepribadian dan sosial anak
lebih ditekankan. Selain itu peran orang tua, sekolah (bimbingan konseling) dan
lingkungan masyarakat menjadi pilar utama dalam keberhasilan perkembangan
pribadi dan sosial anak.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan perkembangan pribadi sosial pada anak?
b.
Bagaimana pengaruh kecerdasan emosi dan spiritual dalam perkembangan
pribadi sosial pada anak?
c.
Apa saja faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi dan spiritual
dalam perkembangan pribadi sosial pada anak?
C.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui dan memahami perkembangan pribadi sosial pada anak
b.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecerdasan emosi dan
spiritual dalam perkembangan pribadi sosial pada anak
c.
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi dan
spiritual dalam perkembangan pribadi sosial pada anak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perkembangan Pribadi Sosial pada Anak
Menurut Syamsu Yusuf (2007),
menyatakan bahwa Perkembangan Sosial merupakan pencapaian kematangan dalam
hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi,
meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama.
Pada awal manusia dilahirkan belum
bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi
dengan orang lain. Kamampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan
pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
Kebutuhan berinteraksi dengan orang
lain telah dirasakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu
mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu
membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang
mendengar suara keras) dan kasih sayang. Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan
bahwa :
Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hunungan antar manusia yang
saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas,
yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur,
kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial
juga berkembang amat kompleks.
Dari kutipan di atas dapatlah
dimengerti bahwa semakin bertambah usia anak maka semakin kompleks perkembangan
sosialnya, dalam arti mereka semakin membutuhkan orang lain. Tidak dipungkiri
lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendiri,
mereka butuh interaksi dengan manusia lainnya, interaksi sosial merupakan
kebutuhan kodrati yang dimiliki oleh manusia.
Kehidupan anak dalam menelusuri
perkembangnya itu pada dasarnya merupakan kemampuan mereka berinteraksi dengan
lingkungan. Pada proses interaksi ini faktor intelektual dan emosional
mengambil peranan penting. Proses tersebut merupakan proses sosialisasi yang
mendudukkan anak-anak sebagai insan yang secara aktif untuk melakukan proses
sosialisasi. Anak yang selalu menyukai berinteraksi dengan manusia disekitarnya
akan mengembangkan kecakapan sosial sehingga mereka lebih popular daripada anak
yang interaksi sosialnya terbatas (Siti Aisyah, Dkk : 2007 : 9.37)
Tetapi kesemua tentang bagaimana seorang
anak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, bagaimana ia beradaptasi,
bersosialisasi harus kita pahami anak mempunyai perbedaan sesuai dengan
tahap-tahap perkembangan masing-masing. Selain itu ada juga yang bermasalah
dalam proses sosialisasinya karena anak mempunyai kecenderungan anak yang
hiperaktif.
Bentuk-bentuk
tingkah laku sosial pada anak :
Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam
bentuk-bentuk interaksi sosial diantaranya :
1.
Pembangkangan (Negativisme)
Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai
reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang
tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18
bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga
tahun dan mulai menurun pada usia empat hingga enam tahun.
Sikap
orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda mereka anak yang
nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua
mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent menuju ke
arah independent.
2.
Agresi (Agression)
Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun
kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap rasa
frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya).
Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubit, menggigt,
menendang dan lain sebagainya.
Sebaiknya
orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara
mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang
agresif maka egretifitas anak akan semakin meningkat.
3.
Berselisih (Bertengkar)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh
sikap atau perilaku anak lain.
4.
Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda
merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata
ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.
5.
Persaingan (Rivaly)
Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh
orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan
prestice dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semain baik.
6.
Kerjasama (Cooperation)
Yaitu sikap mau bekerja sama dengan orang lain. Sikap ini mulai
nampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun, pada usia 6 hingga 7 tahun
sikap ini semakin berkembang dengan baik.
7.
Tingkah Laku Berkuasa (Ascendant Behavior)
Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau
bersikap bossines. Wujud dari sikap ini adalah memaksa, mengancam dsb.
8.
Mementingkan Diri Sendiri (Selffishness)
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginan.
9.
Simpati (Sympaty)
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh
perhatian terhadap orang lain maupun mendekati/bekerjasama dengan dirinya.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan sosial anak :
1.
Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh
terhadap berbagai aspek perkembangan anak termasuk perkembangan sosialnya.
2.
Kematangan
Untuk dapat bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik
dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima
nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, disamping
itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
3.
Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi
keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi
normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
4.
Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat
pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan
warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa
yang akan datang.
5.
Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi
Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti
kemampuan belajar, memecahkan masalah dan berbahasa. Perkembangan emosi
berpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan
intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika
perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan
perkembangan sosial anak.
2.2
Pengaruh Kecerdasan Emosi dan Spiritual Dalam Perkembangan Pribadi Sosial Pada
Anak
Daniel Goleman (1999) adalah salah
seorag yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap
sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang,
yaki kecerdasan emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebulan emosional
Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan dnegan orang lain.
Dalam bukunya, Ary Ginanjar Agustian
menyebutkan dimensi spiritual (SQ) dibentuk oleh ihsan (perilaku baik),
dimensi mental (EQ) dibangun oleh 6 prinsip rukun iman (the principle of
faith). Sedangkan aktifitas fisik dibimbing, diarahkan dan dikendalikan
oleh 5 langkah rukun Islam (the principle of Islam). Ketika formula yang
disampaikan oleh Ary Ginanjar diaplikasikan dalam perkembangan pribadi sosial
pada anak, tentunya sangat berpengaruh positif. Konsep 6 rukun iman dan 5 rukun
Islam adalah sebuah metode yang mengajarkan sebuah tanggung jawab moral dan
sosial pada kehidupan pribadi dan sosial anak dimana awal perkembangan pribadi
sosial anak bergantung pada sistematika kepribadian secara terstruktur dengan
pola-pola yang sekiranya memberikan dampak positif pada perkembangannya.
Emosional lebih dominan dalam
mengatur dan menangani perasaan yang bermuatan emosi. Antara EQ dan SQ sangat
menpunyai peranan penting dalam pengembangan maupun perkembangan pribadi dan
sosial pada anak, karena hal itu merupakan satu kesatuan yang mengatur pola
sikap “bagaimana” anak seharusnya menghadapi dirinya sendiri (aspek pribadi)
dan juga menghadapi orang lain (aspek sosial).
Keterkaitan antara kecerdasan
emosional dan spiritual (ESQ) tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan pribadi
dan sosial anak, Muhibbin Syah (2010; 75) memberikan pandangannya tentang
keterkaitan tersebut bahwa perilaku moral pada umumnya merupakan unsur
fundamental dalam bertingkah laku sosial. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan
(2005:14) merumuskan beberapa tujuan bimbingan dan konseling yang terkait
dengan aspek pribadi-sosial salah satunya adalah memiliki komitmen yang kuat
dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman
sebaya, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya. Maka dalam hal
ini tentulah kcerdasan emosional dan spiritual (ESQ) mempunyai sumbangsih
kepada perkembangan pribadi sosial pada anak antara lain:
- Memberi kesadaran agar bersikap rendah hati.
- Memberi keyakinan terhadap sosok yang diagungkan sehingga bisa mengilhami untuk menjadi pribadi yang baik dalam kehidupan pribadi sosial.
- Memberi motivasi untuk selalu mengatur, mengendalikan serta mengontrol emosi negatif agar perkembangan tetap seimbang.
- Memberi langkah-langkah sikap yang patut untuk mengembangkan pribadi dan sosial yang sesuai dengan yang dikehendaki.
2.3 Faktor
yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi dan Spiritual dalam Perkembangan Pribadi
Sosial Pada Anak
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merupakan sebuah domain dari trait. Kecerdasan
emosional di pengaruhi beberapa faktor, baik faktor yang bersifat pribadi,
sosial ataupun gabungan beberapa faktor. Terdapat banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosioal.
Dibawah ini diberikan dua teori penyebab/faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional berdasarkan teori Goleman dan Agustin.
Menurut Goleman (dalam Ifham, 2002) terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri
individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang. Otak emosional
dipengaruhi oleh amygdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prrefrontal dan
hal-hal yang berada pada otak emosional.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu
dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat
secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau
sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya
media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat
jasa satelit.
Sedangkan menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional, yaitu:
Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri
individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola,
mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar
termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan
emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional.
Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem
limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab
atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara
fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan
dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls
emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan
kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang
berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang
pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul
begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan,
keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan
begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan
hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara
hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai
bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak
hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada
kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta
menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin
Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan
kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk
memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental,
kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai
bagian dari pondasi kecerdasan emosi.
2. Kecerdasan Spiritual
Menurut Syamsu Yusuf (2002: h.136) ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan keadaan spiritual anak, yaitu faktor pembawaan
(internal) dan lingkungan (ekstrnal) adapaun penjelasannya yaitu:
Faktor Pembawaan (internal)
Secara hakiki perbedaan manusia dengan binatang adalah manusia
mempunyai fitrah beragama. Oleh sebab itu manusia disebut juga dengan homo
religius. Fitrah beragama ni tidak memilih kapan manusia tersebut itu berada
dan dilahirkan. Dari zaman yang masih primitif sampai modern, setiap anak yang
lahir dari rahim orangtua yang baik ataupun jahat, bahwasanya secara kodrati
setiap manusia memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang berada di luar
kekuasaannya yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan alam semesta.
Dalam masyarakat primitif sering kita jumpai melalui bukti-bukti
peninggalan prasejarah. Adanya kepercayaan terhadap roh-roh gaibyang dapat
memberikan kebaikan atau kejahatan. Semua hal tersebut diperlihatkan melalui
pemberian saji-sajian (bahasa sunda sesajen) yang dibuat untuk mengusir ataupun
meminta tolong kepada roh-roh yang mereka percayai. Selain itu benda-benda yang
dianggap keramat, seperti keris, atau batu juga seringkali mereka percayai
sebagai benda yang memiliki kekuatan-kekuatan yang dapt mendatangkan kebaikan
bagi dirinya sendiri. Tidak heran jika mereka mengeramatkannya. Bahkan,
dikalangan mesyarakat modern pun masih ada yang percaya terhadp hal-hal yang
bersifat takhayul tersebut. Melihat kenyataan di atas maka tidak bisa
dipungkiri bahwa setiap manusia yang lahir telah memiliki kepercayaan terhadap
suatu zat yang mempunyai kekuatan untuk mendatangkan kebaikan ataupun
kemudhoratan (mencelakakan).
Faktor
Lingkungan (eksternal)
Fitrah beragam merupakan salah satu potensi yang memiliki
kecenderungan untuk berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Namun potensi
tersebut tidak akan berkembang manakala tidak ada faktor luar (eksternal) yang
turut serta mewarnai pertumbuhan dan perkembangan setiap individu. Jika kita
menginginkan potensi beragama setiap anak berkembang ke arah yang lebih baik,
tentu kita harus dapat menkondisikan situasi dan lingkungan yang ada disekitar
mengarah kepada hal tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disini
lingkungan yang dimaksud menurut Syamsu Yusuf (2002: h.139) yaitu, keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Adanya keserasian antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat akan dapat memberikan dampak positif bagi anak, termasuk dalam
pembentukan jiwa keagamaan dalam diri anak. Adapun penjelasana dari
masing-masing lingkungan adalah sebagai berikut :
1.
Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi setiap
anak. Tentunya dalam hal ini orangtua menjadi orang yang paling bertanggungjawabdalam
menumbuhkembangkan kecerdasan beragam pada anak. Para orangtua dibebankan
tanggungjawab untuk membimbing potensi keagamaan anak sehingga diharapkan akan
terbentuk kesadaran beragama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious
experience) dalam diri anak-anak secara nyata dan benar. Anak-anak diberi
bimbingan sehingga mereka tahu kepada siapa mereka harus tunduk dan bagaimana
tatacara sebagai bentuk pernyataan dan sikap tunduk tersebut. Tentunya
pembentukan jiwa keagamaan ini haruslah dimulai sejak anak dalam kandungan
sampai ia lahir.
2.
Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak setelah
keluarga. Karena hampir setengah hari anak menghabiskan waktunya bersama teman
dan gurunya di sekolah. Tentunya segala sesuatu yang ada di sekolah akan
menjadi model bagi anak untuk ditiru. Seperti yang diungkapkan Hurlock(1959:
h.561) bahwa pengaruh sekolah terhadap perkembangan kepribadian anak sangat
besar, karena sekolah merupakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi
dari orangtua.
Hal ini menggambarkan bahwa guru merupakan orangtua kedua bagi
anak-anak. Peran guru di sekolah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
seluruh perkembangan anak, baik kognitif, sosial, emosi maupun afektif. Sayangnya
masih banyak sekolah yang lebih menitikberatkan perkembangan anak secara
akademik dengan mengukur kecerdasan setiap anak melalui deretan angka sebagai
salah satu ukuran perbandingan antara anak yang satu dengan yang lainnya.
Tentunya hal tersebut harus dijadikan bahan pemikiran bagi seluruh
guru sebagai penanggungjawab pendidikan bagi anak untuk tetap menggali seluruh
potensi dan kecerdasan anak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Karena
sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang mempunyai program sistemik dalam
melaksanakan pengajaran, bimbingan dan latihan kepada anak agar mereka
berkembang sesuai dengan potensinya.
Dalam kaitan mengembangkan fitrah keagamaan dalam diri anak, maka
gur waji memberikan keteladanan dan perkataan, sikap maupun perbuatan yang baik
serta cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran agama Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Semua itu akan lebih efektif jika semua guru dan staf di sekolah
dapat merefleksikanya melaui pembiasaan yang dimulai dari diri sendiri. Selain
itu diperlukan juga guru agama yang memiliki kepribadian yang mantap (akhlak
mulia), menguasai disiplin ilmu agama islam, dan memahami ilmu-ilmu yang lain
yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar. Namun
bukan berarti pengembangan kecerdasan beragama hanyalah menjadi tanggungjawab
guru agama saja. Melainkan juga menjadi tanggungjawab guru bidang studi laing
dengan cara tetap menyisipkan nilai-nilai agama dalam seluruh proses belajar
mengajar setiap hari.
3.
Lingkungan Masyarakat.
Selain faktor keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat jua turut
mempengaruhi perkembangan kecerdasan beragama pada anak. Lingkunan masyarakat
yang dimaksud meliputi lingkungan rumah sekitar anak sebagai tempat bermain,
televisi, serta mediacetak seperti buku cerita maupun komik yang paling banyak
digemari oleh anak-anakusia dini. Menurut syamsu Yusuf (2002: h. 141)
lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dn
sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama
atau kesadaran beragama individu. Dalam msayarakt akan terbentuk suatu perilaku
yang dominan pada setiap individu karena adanya interaksi sosialyang terjadi
antara teman sebaya maupun dengan anggota masyarakat lainnya. Pada diri anak
akan muncul perilaku baik ataupun tidak baik tergantung seberapa besar
lingkungan sekitarna mempengaruhi dalam pergaulan sehari-hari. Karena pada
dasarnya anak cepat sekaliterpengaruh oleh hal-hal yang ia lihat, dengar dan
rasakan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hurlock (dalam Syamsu Yusuf,
2006) yang mengemukakan bahwa standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok
bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para
anggotanya”. Disini dapat dikemukankan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama
bagi anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau pribadi orang dewasa
atau warga masyarakat. Jika anak sering bergaul dengan lingkungan yang kurang
baik, maka bukan tidak mungkin anak akan berperilaku sama dengan apa yang ia
lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-harinya.
Selain manusia sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan
beragama anak, media cetak dan televisi juga turut serta memberikan andil besar
dalam mewarnai pertumbuhan anak dalam lingkungannya.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan
sosial. Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum
memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak
diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang
dilingkungannya.
Emosional lebih dominan dalam mengatur dan menangani perasaan yang
bermuatan emosi. Antara EQ dan SQ sangat menpunyai peranan penting dalam
pengembangan maupun perkembangan pribadi dan sosial pada anak, karena hal itu
merupakan satu kesatuan yang mengatur pola sikap “bagaimana” anak seharusnya
menghadapi dirinya sendiri (aspek pribadi) dan juga menghadapi orang lain
(aspek sosial).
Kecerdasan emosional merupakan sebuah domain dari trait. Kecerdasan
emosional di pengaruhi beberapa faktor, baik faktor yang bersifat pribadi,
sosial ataupun gabungan beberapa faktor. Terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional, faktor lingkunganpun juga dapat mempengaruhi kecerdasan
emosional seorang anak.
B.
SARAN
Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini belum mencapai kesempurnaan, oleh karenanya kami mohon bimbingan,
kritik dan saran dari pembaca sekalian untuk membangun kualitas keilmuan kami.